Semarang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Tengah terus memperkuat pemahaman pelaku usaha hiburan terhadap pentingnya perlindungan hak cipta dan tata kelola royalti.
Dalam sebuah diskusi interaktif yang digelar di Enigma Executive, para pelaku usaha mendapat edukasi langsung dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) mengenai mekanisme pemungutan dan pengelolaan royalti karya musik, Kamis (10/07).
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari DJKI, yaitu Analis Hukum Ahli Muda Achmad Iqbal Taufiq dan Andri Anggoro, serta Head of Legal WAMI, Bigi Ramadha. Pesertanya merupakan para pelaku usaha yang aktif di bidang hiburan, seperti pemilik karaoke, klub malam, restoran, hingga penyelenggara event.
Achmad Iqbal Taufiq menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kesadaran pelaku usaha terhadap perlindungan hak cipta di sektor musik.
“Kehadiran kami ingin berbagi dan berdiskusi soal mekanisme royalti yang berlaku saat ini. Penting bagi pelaku usaha untuk memahami bahwa penggunaan lagu secara komersial adalah pemanfaatan karya milik pencipta, yang memiliki hak ekonomi,” ujarnya.
Lebih jauh, diskusi membahas aspek hukum terkait hak cipta, termasuk perlindungan terhadap hak ekonomi dan hak moral pencipta. Salah satu poin penting yang dibahas adalah hak pertunjukan (performing rights), distribusi royalti, serta peran pemilik usaha dalam mendukung ekosistem kekayaan intelektual yang sehat dan adil.
Sementara itu, Bigi Ramadha dari WAMI memberikan penjelasan menyeluruh mengenai mekanisme lisensi dan peraturan yang mengatur performing rights di Indonesia.
“Royalti ini adalah reward bagi para pencipta yang karya dan hak ekonominya digunakan oleh pihak lain secara komersial,” ujar Bigi.
WAMI, sebagai lembaga yang ditunjuk untuk mengelola performing rights di Indonesia, bertugas mengumpulkan royalti dari berbagai pengguna, baik individu maupun organisasi, dan menyalurkannya kepada para pencipta lagu. Namun, menurut Bigi, proses ini tidak selalu mudah.
“Salah satu kendala terbesar adalah akurasi data. Kadang data dari pencipta dan publisher tidak sinkron, bahkan bisa terjadi dobel atau error,” jelasnya.
Ia juga menyoroti tantangan dalam mendata penggunaan karya di tempat-tempat komersial kecil seperti restoran atau event pribadi.
Dalam kesempatan tersebut, Bigi juga menegaskan pentingnya pemahaman hukum oleh para pengusaha agar mereka tidak hanya terhindar dari pelanggaran, tetapi juga memperoleh perlindungan hukum dan manfaat dari kegiatan usahanya.
Melalui kegiatan ini, Kemenkum Jawa Tengah berharap para pelaku usaha semakin sadar akan pentingnya penghargaan terhadap karya intelektual dan turut aktif menciptakan lingkungan yang adil bagi para pencipta karya musik di Indonesia.