
AMBARAWA - Beroperasi di atas Fort Willem I atau Benteng Willem I, Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Ambarawa membuat takjub Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.
Pria yang biasa disapa Prof Eddy tersebut, sangat mengagumi kontruksi bangunan yang telah berdiri selama lebih dari satu abad itu.
"Ini dibangun tahun berapa?," tanya Prof Eddy saat meninjau blok hunian Lapas Ambarawa.
"Sejak kapan (Lapas) menempati ini," tanyanya lagi.
Dari pantauan, Lapas Ambarawa yang merupakan bagian dari Benteng Pendem, nama lain Benteng Willem I, masih sangat kokoh dengan originalitas arsitekturnya.
"Tembok tebal banget ya," katanya mengomentari salah satu sisi kamar hunian.
Tak hanya itu, Wamenkumham juga tampak "kepo" dengan beberapa bagian gedung yang tampak tidak biasa ditemui di beberapa kontruksi masa kini.
"Ini besi apa?," tanya Prof Eddy melihat salah satu besi penyangga gedung.
"Kalo jangkar ini untuk pengait ya," tanyanya lagi penasaran.
Pada kesempatan itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah Tejo Harwanto yang hadir mendampingi, menjelaskan bahwa Lapas Ambarawa tidak memiliki tembok keliling, karena harus mempertahankan struktur bangunan yang lama.
Tejo juga mengungkapkan, Lapas Ambarawa sebenarnya telah diusulkan untuk direlokasi, namun lahan untuk proyeksi pemindahan belum tersedia.
"Sudah kami usulkan Prof, namun sampai saat belum ada lahan yang cocok," ujar Tejo.
"Karena nantinya, Benteng Willem ini akan direvitalisasi oleh Kementerian PU-PR. Proyeksi akan sepenuhnya difungsikan sebagai cagar budaya dan destinasi wisata," tambahnya.
Dalam kunjungan singkatnya, Wamenkumham juga menyempatkan diri untuk melihat dapur dan lingkungan Lapas Ambarawa.
Turut mendampingi Wamenkumham, Kepala Divisi Administrasi Hajrianor, Kepala Lapas Ambarawa Mujiarto dan Pejabat Administrasi Lapas Ambarawa.
Sebagai informasi, Benteng Pendem menjadi saksi bisu kolonialisme Belanda. Menggunakan istilah pendem karena benteng ini berada di bawah tanah atau terkubur, sebagai siasat perang.
Pada tahun 1853 sampai tahun 1927 digunakan sebagai barak militer Hindia-Belanda atau KNIL yang terhubung ke Magelang, Yogyakarta, dan Semarang melalui jalur kereta api.
Pada umumnya benteng dibangun dengan prinsip defensif dan kuat yang dimaksudkan untuk pertahanan dari serangan musuh. Sering dijumpai pula dibangun parit mengelilingi benteng untuk memaksimalkan pertahanan. Namun Benteng Willem I ini ternyata memiliki desain yang berbeda. Dengan banyak jendela, benteng ini bukan dirancang untuk pertahanan. Kemungkinan adalah untuk barak militer dan penyimpanan logistik militer. Di benteng ini juga tidak dilengkapi bangunan sebagai tameng. Dan tidak ada bekas bekas lubang di puncak puncak dinding seperti halnya pada benteng benteng peninggalan Portugis yang dirancang untuk memasang meriam.
